Kembara ke Tenggara

nabigha a r
6 min readJun 14, 2024

--

Enam tahun lalu, aku masih SMA. Dari sekian kisruh berbagai kegiatan di masa itu, ada satu yang cukup membekas di memori kepalaku. Pengembaraan Pendek. Begitulah kami menyebutnya.

Pengembaraan Pendek bukan semata kegiatan bermain, melainkan salah satu rangkaian pendidikan dasar dari klub sekolah yang aku ikuti saat itu. Isi kegiatannya pun sesederhana judulnya. Kami harus melakukan Pengembaraan (dalam waktu terbilang) Pendek, tapi harus mengaplikasikan berbagai ilmu yang telah diperoleh sebelumnya.

Setelah melalui berbagai proses diskusi dan rencana, kami sepakat menentukan Gunung Tilu sebagai tempat pengembaraan, dan pendataan tanaman obat sebagai bentuk kegiatannya. Sejujurnya, saat itu aku tidak terlalu paham mengenai tema pendataan tanaman obat itu. Ah, tapi apalah aku. Trabasss sajalah, toh kami banyakan, yang lain pasti ngerti, pikirku saat itu. Ternyata, yang mikir seperti itu semua anggota tim — kutahu belakangan. Ada-ada saja memang anak sekolah.

Gunung Tilu terletak di Desa Jabranti, Kab. Kuningan, sekitar 34 km jauhnya dari rumahku, atau 36 km jauhnya dari sekolah kami. Ia berdiri menjulang di sebelah tenggara wilayah kota, berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah. Tak banyak yang kuingat mengenai hari-hari pengembaraan. Kegiatan itu terbagi menjadi 3 tahap: persiapan; pengembaraan; dan pertanggungjawaban. Pada tahap persiapan hingga pengembaraan, kami sering ke sana. Mencari informasi, mencari orang, survey, orientasi medan, hingga observasi untuk kelengkapan persiapan menuju hari H Pengembaraan. Ada satu masa saat getol-getolnya persiapan dilakukan, dalam 2 minggu kami ke sana sekitar 5–6 kali. Setiap pulang sekolah menempuh jarak bolak-balik kurang lebih 68 km. Entah apa yang disurvey saat itu, tapi dahulu kami sangat menikmatinya.

Pada setiap kedatangan kami di Desa Jabranti, ada satu juru kunci yang selalu menyambut kedatangan kami. Pak Yunus namanya. Rumahnya terletak di paling ujung dekat kaki Gunung Tilu, seolah ia adalah pintu pertama bila ingin memasuki gunung ini. Kami selalu disambut Ibu (istri Pak Yunus) dengan es teh tawar dan makanan khas desa yang menemaninya — kadang boled, kadang leupeut, kadang juga kami gatau namanya. Mereka tinggal bertiga di rumah, bersama anak semata wayangnya, A Epul. Setiap kami ke sana, A Epul selalu sedang mengutak-ngatik motor bebeknya, entah apa yang rusak. Yang kuingat, kami selalu berbicara hangat bersama Ibu dan Bapak saja. Ibu suka nimbrung dengan obrolan yang dipancing Bapak dan diladeni dengan ke-soktau-an kami anak-anak sekolah. Seringnya kami membahas legenda-legenda purba Gunung Tilu, ada hewan purba ina-inu, segala pantangan yang tidak boleh dilakukan, segala anjuran, hingga barang-barang purba dari nenek buyut Pak Yunus sendiri. Percayalah, meski hasil pengembaraan kami tak jelas dan aku kerap tidak memahaminya saat itu, namun, hari-hari di rumah bapak sangat terpatri kencang di ingatanku. Jauh setelah hari-hari itu.

Bapak selalu memancing dengan cerita, Ibu selalu meladeni kami dengan tawa, A Epul sering membantu dan menemani kami di lapangan walau tak banyak bicara.

Sebelum beranjak, biar kuberitahu satu hal. Dari sekian barang-barang purba yang bapak tunjukan saat itu, ada satu yang kuingat jelas. Dulu aku memegang potongan kayunya, meraba ukirannya, dan bertanya “Ini untuk apa, Pak?”. Bapak tersenyum. Seketika menjelaskan panjang lebar fungsi barang itu.
Tapi tebak apa?
Dari sekian panjangnya penjelasan bapak, tak ada yang kuingat. Barangkali aku hanya menyerap dengan tiga kata, ‘kalender jaman dulu’. Lalu percakapan berlanjut kemana-mana. Nama barang itu barulah kutahu awal tahun ini — 2024, saat diminta memberikan materi Sosiologi Pedesaan yang mencakup teknik berkomunikasi dengan masyarakat. Saat penyusunan materi, aku berkontemplasi pada momen-momen aku berkomunikasi di lapangan (untuk memetik hal-hal yang bisa diterapkan tentunya), baik momen saat survey studio perkuliahan, survey skripsi, survey proyek, hingga survey pengembaraan itu. Iya! momen pengembaraan itu tak sengaja terlintas di tengah kepalaku yang asik bernostalgia. dan barang itu! apa namanya?

Kucari di kolom pencarian: kalender masyarakat sunda jaman dulu

Persis! Ini dia! Ternyata namanya Kolenjer.

Kolenjer — Sistem Penanggalan Sunda jaman dahulu. (sumber: Google)

Ah, dasar aku. Butuh waktu hingga enam tahun untuk memahami hal yang dulu kulewati begitu saja.

Setelah kegiatan pengembaraan selesai, kami tak pernah ke sana. Aku dan teman-teman melanjutkan hidup masing-masing. Bapak Ibu pun pasti juga begitu. Kami tak pernah bersinggungan lagi, sekalipun.

Beberapa hari yang lalu, di tengah luangnya hari-hari, teduh dan dinginnya Kuningan, serta sepinya rumah tinggal ini. Aku, dengan segenap kesadaran memutuskan berkendara ke Desa Jabranti. Ah, mimpi apa aku. Aku menempuh jarak 68 km beserta jalan rusaknya itu! Seorang diri! Jam 10 pagi!
Ya, aku melakukannya.
Jalan rasanya begitu panjang. Saking bosannya, aku menyetir sembari makan cireng isi ayam suwir yang suka nangkring dekat RS Juanda. Sesampainya di desa, entah mengapa intuisiku seolah tahu harus menempuh jalan yang mana. Seketika aku ingat rumah bapak, beserta pintunya yang berdecit, juga motor bebek hitam yang diparkir di terasnya. Aku ingat persis lokasi rumah itu berdiri, petak tanah itu, dimana?

Tak ada rumah. Rata dengan tanah. Ditumbuhi ilalang tak karuan. Mana Bapak Ibu? Mana rumah itu? Sebelum pikiranku bergerak liar dan mataku tak kuasa jelalatan kesana kemari, pundakku ditepuk seseorang.
“Mau kemana, nak?”, tanya ibu itu.
“Mau cari Pak Yunus, Bu.”
“Ooh Mbah Yunus ya, sudah pindah ke rumah dulurnya, itu di bawah, masuk jalan itu ya” katanya sembari menunjuk sebuah jalan kecil di bawah.
“Muhun bu, hatur nuhun.” pamitku.

Rumahnya hening. Katanya semua bapak-bapak sedang gotong royong renovasi musholla. Dari jauh, aku melihat air muka yang tak asing di kerumunan gotong royong itu. Iya! Itu bapak! dengan cangkul di pundaknya. Jelas itu manusia yang kucari.

Singkat cerita, bapak mengajak untuk ngobrol di ruang tamu rumahnya (yang baru). Bapak tentu lupa aku. Lupa rombongan anak sekolah mengembara di Gunung Tilu enam tahun lalu. Pun lupa pernah menunjukkan barang purba bernama Kolenjer itu. Walaupun banyak lupa, justru tak menutup keran obrolan kami yang ngalor ngidul. Bicara bapak masih dengan gaya ceritanya yang khas. Usilnya saja yang berkurang. Muka bapak terlihat lebih tua, tapi aku kenal wajah ini. Sampai pada pembahasan Kolenjer, bapak tetiba beranjak mengambil barang itu. Ia memberikannya padaku, “Ini kan, neng?”. Seketika aku bersorak riang dalam hati. IYAA PAKKK.

Bapak menjelaskan arti simbol-simbol itu dengan bahasa yang sederhana, tak lupa pemisalannya. “Misalkan kamu mau naik Gunung Tilu… Saya biasa lihat ini, apakah hari baik untuk mendaki atau tidak. Kalau bukan hari baik tentu tidak saya izinkan naik lho ya.. Bisa juga berlaku untuk pergi jauh. Saya biasanya lihat ini kalau anak saya mau ke Jakarta..” Ucapannya henti di situ. Terhenti lama. Ia menahan tangis sembari menutup mulutnya. Dalam sekejap, hilang air mukanya yang riang.

“Anak saya pernah hilang. Kabur ke Jakarta. Tanpa saya memperhitungkan dulu dengan membaca kolenjer ini. Itu momen pertama kali ia meninggalkan rumah tanpa izin saya. Ia hilang bertahun-tahun, tak pernah sekalipun pulang. Saya sempat menghampiri kos tinggalnya di Jakarta, daerah Kampung Rambutan, tetap tak ketemu. Ibunya pusing tak karuan, menangis setiap hari, bertanya-tanya apakah anak itu mati atau hidup rupanya… hingga istri saya ngantunkeun (meninggal) dalam penantiannya. Tak berselang lama, rumah kami disapu longsor saat hujan deras beberapa tahun lalu. Rumah kami rusak berat. Istri saya pergi duluan. Si Epul gak pulang. Makanya saya pindah ke sini.. ke rumah dulur aja.. Hidup mesti terus berjalan semenjak itu neng.. Saya gak memaksa Epul untuk pulang, tapi ketika istri saya… Aduh, neng,”
Ia menghentikan ucapannya. Air matanya mengalir deras.

“Semenjak itu, yang terlihat bagi saya hanya waktu yang berjalan sangat lambat. Saat ini tujuan hidup saya.. ya.. untuk guyubi dan hidup menghidupi sekitar saja,” lanjutnya beberapa saat kemudian.

Aku terdiam seribu kata setelah kalimat terakhirnya. Perih mendengarnya meski aku hanya mengenal ibu melalui es teh tawar dan camilan buatannya yang selalu ia sediakan saat kami bertandang dulu kala. Percakapan berlanjut, entah bagaimana kami kembali dalam bahasan kolenjer. Ternyata kolenjer itu bukan kolenjer yang dulu bapak tunjukkan sebagai peninggalan nenek buyutnya. Barang itu turut tersapu longsor besar beberapa tahun lalu.

Kolenjer Bapak

Jalan pulang ke rumah tak seriang aku berangkat. Pikiranku hilir mudik bergerilya. Ribuan tanya dan hening menemani perjalanan pulang kemarin. Terima kasih Bapak, Ibu, cerita kembara dahulu kala akan selalu terkenang riang di ruang tertentu.

Kuningan,
14 Juni 2024.

--

--

No responses yet